Wednesday, November 16, 2011

Ruptur Perineum


1.      Pengantar
Hakikat pembangunan nasional adalah menciptakan manusia indonesia seutuhnya serta pembangunan seluruh masyarakat indonesia menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, pembangunan di bidang kesehatan harus dilaksanakan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, karena pada dasarnya pembangunan nasional di bidang kesehatan berkaitan erat dengan peningkatan mutu sumber daya manusia yang merupakan modal dasar dalam melaksanakan pembangunan. Salah satu indikator untuk menentukan derajat kesehatan suatu bangsa ditandai dengan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan bayi. Hal ini merupakan suatu fenomena yang mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan (Sitti Saleha, 2009 hal 1).
Angka Kematian Ibu adalah banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) per 100.000 kelahiran hidup. angka kematian ibu berguna untuk menggambarkan tingkat klesadaran perilaku hidup sehat, status gizi, dan kesehatan ibu, kondisi lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk hamil, pelayanan kesehatan waktu ibu melahirkan dan nifas. Untuk mengantisipasi masalah ini maka diperlukan terobosan-terobosan dengan mengurangi peran dukun dan meningkatkan peran bidan. Harapan kita agar bidan di desa benar-benar sebagai ujung tombak dalam upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2009 hal 19).
Berdasarkan definisi, kematian maternal dapat digolongkan pada (1) kematian obstetrik langsung, (2) kematian obstetrik tidak langsung, (3) kematian yang terjadi bersamaan tetapi tidak berhubungan dengan kehamilan dan persalina misalnya kecelakaan. Di negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar penyebab kematian langsung adalah perdarahan, infeksi, gestosis, dan abortus. Kematian tidak langsung disebakan oleh penyakit atau komplikasi lain yang sudah ada sebelum kehamilan atau persalinan, misalnya hipertensi, jantung, diabetes, hepatitis, anemia, malaria dan lain-lain (Winkjosastro, 2007 hal 22).       
Disisi ibu Penyebab langsung biasanya terkait erat dengan dengan kehamilan, proses persalinan, dan pasca persalinan (postpartum). Sedangkan penyebab tidak langsung lebih terkait dengan kondisi sosial, ekonomi, geografi serta perilaku masyarakat yang terangkum dalam 4T (Terlalu tua, terlalu muda, terlalu banyak, terlalu rapat). Hal yang sering terjadi pada masa nifas antaranya emboli air ketuban 3%, abortus 5%, partus lama 5%, trauma obstetri 5%, komplikasi peurperium 8%, eklamsi 24% dan perdarahan yang merupakan penyebab utamanya 28% (Profil Kesehatan Indonesia, 2007 hal 142).
Faktor risiko penyebab tidak langsung kematian ibu pada ibu anemia sebesar 51%, terlalu muda sebesar 10,3%, terlalu tua 11%, terlalu banyak anak 19,3%, terlalu rapat jaraknya <24 bulan sebesar 24% dan <36 bulan 36% (Profil Kesehatan Indonesia, 2007 hal 143).
Perubahan fisiologi yang terjadi setelah persalinan, terjadi tanpa komplikasi pada sebagian besar ibu. Bidan mengkaji kesejahteraan ibu dengan memperhatikan perubahan fisioligis ini dan mengedintifikasisetiap komplikasi potensial atau aktual dengan melakukan rujukan ke profesional kesehatan lain atau institusi yang tepat. Pengkajian mencakup mengobservasi ibu, berbicara dan mendengarkannya, dan melakukan pemeriksaan fisik. Pengkajian dapat dilakukan setiap hari atau sesuai kebutuhan individual dan pengkajian risiko (Debie Holmes, 2011 hal 281).   
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama (Winkjosastro, 2007 hal 665).
Hasil SDKI pada tahun  2005 sebesar 307  per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2007 Angka Kematian Ibu meningkat  248 per 10.000 kelahiran hidup, pada tahun 2009 Angka Kematian Ibu sebesar 226 per 100.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2009 hal 20).
Jumlah AKI yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota di Sulawesi Selatan pada tahun 2007 sebesar 143 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2008 menurun menjadi 121 per 100.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2009 menurun lagi menjadi 118 orang per 100.000 kelahiran hidup. Infeksi 6 orang (4%) pre eklampsia dan eklampsia 40 (26%), perdarahan sebanyak 77 (50%) yang merupakan penyebab langsung kematian ibu seperti perdarahan post partum yang disebabkan oleh laserasi jalan lahir yang tidak tertangani (Profil Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, 2009 hal 20).
Berdasarkan data yang diambil dari rekam medik di Rumah Sakit Umum Haji Makassar  didapatkan jumlah persalinan periode januari sampai desember tahun 2010 sebanyak 983 orang dengan kasus ruptur perineum sebanyak 419 orang (42,62%).

2.      Pengertian Ruptur Penineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama (Winkjosastro, 2007 hal 665).
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir ke belakang daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari sirkumferensia suboksipto-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal (Winkjosastro, 2007 hal 665).

3.      Penanganan Ruptur Perineum
a.         Lakukan ekplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan.
b.         Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik.
c.         Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap.
d.        Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator.
e.     Khusus ruptur perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut
-    Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung robekan.
-   Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa menggunakan benang poligkolik no. 2/0 (Dexon/Vicryl) hingga ke sfingter ani. Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no. 2/0.
-   Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang yang sama (atau kromik 2/0). Secara jelujur, mukosa vagina dan kulit perineum dijahit dengan benang submukosal dan subkutiler.
-   Berikan antibiotik profilaksis (ampisilin 2 gdan metronidazol 1 g per oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisisonal atau terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas (Dr. Taufan Nugroho, 2010 hal 166).



No comments:

Post a Comment

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.